Secara khusus, Badudus bisa dilaksanakan untuk tiga subyek yang berbeda, meski dengan tujuan yang kurang lebih sama. Pertama, pelaksanaan Badudus untuk peralihan status calon pengantin dalam rangkaian upacara pernikahan adat Banjar, atau yang sering disebut dengan istilah Mandi Pengantin. Tujuan pelaksanaan ritual Mandi Pengantin adalah untuk membentengi pengantin dari berbagai gangguan yang tidak diinginkan. Jika tidak dipersiapkan penangkalnya, dikhawatirkan kedua mempelai yang hendak melangsungkan pernikahan akan terserang penyakit dan kehidupan rumah-tangganya kelak akan digoyahkan oleh berbagai macam rintangan (M. Suriansyah Ideham, et al., 2007).
Kedua, ritual Badudus yang dilakukan oleh orang yang akan menerima gelar kehormatan. Misalnya sebagai bagian dalam upacara penobatan raja atau upacara pemberian anugerah kebangsawanan dari kerajaan kepada orang-orang yang telah ditentukan. Maksud dilaksanakannya ritual Badudus dalam konteks ini adalah sebagai pelindung agar raja yang akan dinobatkan terbebas dari segala macam penyakit, baik lahir maupun batin, dan dapat menjalankan pemerintahan atau tugasnya dengan baik, bersih dari tindakan yang tercela, dapat berlaku adil, dan memikirkan kepentingan rakyat banyak.
Asal-muasal munculnya ritual Badudus ditengarai berasal dari tradisi yang berlaku pada zaman Kerajaan Negara Dipa (sekitar tahun 1355 Masehi) dan Kerajaan Negara Daha (sekitar tahun 1448 M). Dua kerajaan yang muncul secara berurutan ini merupakan bagian dari mata rantai sejarah Kesultanan Banjar yang baru didirikan pada tahun 1526 M. Kerajaan Negara Dipa dan Kerajaan Negara Daha adalah kepanjangan tangan dari orang-orang Kerajaan Majapahit yang datang ke tanah Banjar dalam rangka pelaksanaan Ekspedisi Pamalayu di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada (Ira Mentayani, 2008).
Masyarakat adat Banjar meyakini bahwa ritual Badudus harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh-tokoh Kerajaan Negara Dipa, antara lain Empu Jatmika (panglima Kerajaan Majapahit yang memprakarasi berdirinya Kerajaan Negara Dipa di tanah Banjar), Lambung Mangkurat (putra Empu Jatmika sekaligus panglima Kerajaan Negara Dipa), dan lain-lainnya. Masyarakat lokal percaya bahwa leluhur mereka itu masih hidup di alam gaib dan sewaktu-waktu dapat diundang dalam acara-acara ritual tertentu. Kepercayaan ini dianut secara turun-temurun, dan jika tidak dilaksanakan, maka diyakini dapat menimbulkan malapetaka.
Pada zaman dahulu, Badudus menjadi ritual yang khusus dilakukan hanya pada saat acara penobatan seorang raja. Ritual ini hanya boleh dilakukan oleh para keturunan raja saja, yakni orang yang masih memiliki garis darah dengan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Negara Dipa maupun Kerajaan Negara Daha. Mereka yang boleh menghadiri acara Badudus pun sangat terbatas, yakni hanya untuk kalangan keluarga kerajaan saja. Ketentuan ini berlaku hingga ketika kedudukan Kesultanan Banjar dihapuskan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1860.
Setelah tidak adanya kerajaan di tanah Banjar, acara Badudus tetap dilaksanakan meski dalam konteks yang berbeda, yakni sebagai rangkaian upacara perkawinan adat Banjar dan upacara kehamilan pertama. Pada tahun 2010, upaya-upaya untuk menghidupkan kembali Kesultanan Banjar yang sempat mati suri selama lebih dari 100 tahun sudah dapat diwujudkan dengan dinobatkannya Pangeran Haji Gusti Khaerul Saleh sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar di Martapura, Kalimantan Selatan (Iswara N. Raditya, dalam www.MelayuOnline.com). Kini upacara Badudus kembali dilaksanakan sebagai salah satu tahap dalam rangkaian upacara penobatan Raja Muda Kesultanan Banjar.
Ritual adat Badudus dilangsungkan di tempat-tempat yang telah ditentukan, yaitu di dalam rumah atau di halaman rumah. Badudus juga bisa dilaksanakan di tempat tertentu yang telah dibuat bangunan berbentuk segi empat, di mana masing-masing sudut tiangnya ditanami tebu. Tempat yang akan digunakan untuk pelaksanaan ritual Badudus hendaknya diberi atap dan batas berupa kain berwarna kuning yang mengelilingi area utama. Sedangkan untuk alasnya, bisa menggunakan tikar atau karpet berwarna (Arijadi, 2010). Tempat dilaksanakannya ritual Badudus ini disebut pagar mayang.
Dalam prosesi awal penobatan raja, ritual Badudus dilaksanakan dua hari sebelum acara puncak penabalan. Sebagai contoh adalah dalam acara penobatan Pangeran Haji Gusti Khaerul Saleh sebagai Raja Muda Kesultanan Banjar, di mana ritual Badudus diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 2010, sedangkan upacara penobatan dilakukan dua hari setelahnya, yakni pada tanggal 12 Desember 2010.
Apabila dilangsungkan sebagai rangkaian dalam prosesi pernikahan adat Banjar, ritual Badudus dilakukan pada tiga hari sebelum hari perkawinan. Waktu pelaksanaan ritual Badudus adalah pada sore atau malam hari (Ideham, et al., 2007). Sedangkan dalam konteks upacara untuk memperingati kehamilan pertama, ritual Badudus dilakukan ketika usia kehamilan menginjak 7 bulan.
Peralatan dan bahan-bahan yang harus disiapkan dalam pelaksanaan ritual Badudus adalah sebagai berikut:
Piduduk dan sasangan:
Seluruh perlengkapan dan bahan di atas disusun rapi sesuai dengan urut-urutan rangkaian acara dan semua bahan tersebut dimasukkan ke dalam pagar mayang. Selain itu, terdapat juga perlengkapan dan bahan yang tidak dimasukkan ke dalam pagar mayang, yaitu dua tampah kuningan yang masing-masing berisi Gunung Emas dan Gunung Perak, serta perlengkapan lain yang digunakan selama prosesi Badudus. Gunung Emas terdiri dari ketan lemak yang dihiasi dengan wajik, sedangkan Gunung Perak terdiri dari ketan lemak yang dihiasi dengan telur dadar
Sebelum ritual Badudus dilaksanakan, terlebih dulu harus dilakukan beberapa langkah-langkah persiapan beserta peralatannya, yakni sebagai berikut: